Pada masa perjuangan bersenjata untuk mempertahankan kemedekaan, tidak boleh dilupakan peranan etnis Tionghoa, antara lain dalam membantu supplai bahan-bahan makanan dan menyelundupkan senjata dari Singapore untuk keperluan para gerilyawan.
Dalam pertempuran Surabaya melawan pasukan Inggris pada bulan November 1945, tidak sedikit peranan pemuda-pemuda Tionghoa. Wartawan "Merah Putih" yang terbit di Jakarta menyatakan di Surakarta mengenai kunjungannya ke medan pertempuran Surabaya antara lain, seorang pemimpin Tionghoa telah berpidato di depan corong Radio Surabaya tentang kekejaman yang dilakukan tentara Inggris terhadap rakyat Surabaya. Pidato tersebut ditujukan kepada pemerintah Tiongkok di Chungking, dan sebagai jawabannya Radio Chungking menyerukan kepada para pemuda Tionghoa agar bahu membahu bersama rakyat Indonesia melawan keganasan tentara Inggris. Seruan ini akibat pemboman pasukan Inggris yang mengakibatkan lebih dari seribu orang Tionghoa menderita luka-luka dan meninggal dunia. Menyambut seruan tersebut pemuda-pemuda Tionghoa mengorganisasikan diri ke dalam pasukan bela diri dibawah bendera Tiongkok. Mereka merebut senjata dan berangkat ke front pertempuran untuk melawan pasukan Inggris.
Berkenaan dengan pertempuran Surabaya, pada tanggal 12 November 1945, Bung Karno mengucapkan pidato antara lain : "Ratusan orang Tionghoa dan Arab yang tidak bersalah dan suka damai, yang datang di negeri ini untuk berdagang, terbunuh dan luka-luka berat. Kurban di pihak Indonesia lebih banyak lagi. Saya protes keras terhadap pemakaian senjata modern, yang ditujukan kepada penduduk kota yang tidak sanggup mempertahankan diri untuk melawan".
Demikian juga perlu dicatat peranan etnis Tionghoa dalam perjuangan politik untuk mempertahankan kemerdekaan. Pada kabinet Sjahrir ke-2, Mr.Tan Po Gwan diangkat menjadi Menteri Negara Urusan Tionghoa. Ketika Amir Sjarifoeddin membentuk kabinetnya, Siauw Giok Tjhan diangkat menjadi Menteri Negara yang mewakili etnis Tionghoa dan Dr.Ong Eng Die dari PNI sebagai Wakil Menteri Keuangan. Dalam perundingan di kapal USS- Renville di Teluk Jakarta, Dr.Tjoa Siek In ditunjuk menjadi anggota delegasi, demikian juga dalam Konperensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Dr.Sim Kie Ay diikut sertakan oleh Drs.Moh.Hatta sebagai anggota dan penasihat delegasi RI.
Sebagai hasil KMB dibentuk pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS) dan pada tanggal 15 Pebruari 1950 dibentuk parlemen. Enam orang di antara anggota parlemen RIS adalah peranakan Tionghoa. Dua orang mewakili pemerintah Republik yaitu Siauw Giok Tjhan dan Drs.Yap Tjwan Bing, seorang mewakili Negara Indonesia Timur yaitu Mr.Tan Tjin Leng, dua orang mewakili Negara Jawa Timur yaitu Ir.Tan Boen Aan dan Mr.Tjoa Sie Hwie dan Tjoeng Lin
Sen mewakili Negara Kalimantan Barat.
Di masa Demokrasi Parlementer (1950-1959), delapan orang etnis Tionghoa menjadi anggota DPRS yaitu : Siauw Giok Tjhan, Tan Boen Aan, Tan Po Gwan, Teng Tjin Leng, Tjoa Sie Hwie, Tjoeng Lin Sen (pada bulan Agustus 1954 diganti Tio Kang Soen), Tjung Tin Jan dan Yap Tjwan Bing (pada bulan Agustus 1954 diganti Tony Wen alias Boen Kim To).
Di dalam kabinet Ali Satroamidjojo I Dr.Ong Eng Die ditunjuk menjadi Menteri Keuangan dan Lie Kiat Teng menjadi Menteri Kesehatan. Dalam DPR hasil Pemilihan Umum tahun 1955 terpilih beberapa orang etnis Tionghoa yaitu Oei Tjeng Hien (Masjumi), Tan Oen Hong dan Tan Kim Liong (NU), Tjung Tin Jan (Partai Katholik), Lie Po Joe (PNI), Tjoo Tik Tjoen (PKI) dan Ang Tjiang Liat (Baperki). Sedangkan di Konstituante terpilih sebagai anggota antara lain Siauw Giok Tjhan, Oei Tjoe Tat, Yap Thiam Hien, Go Gien Tjwan, Liem Koen Seng, Oei Poo Djiang-kesemuanya dari Baperki, Tony Wen dari PNI, Oei Hay Djoen dan Tan Ling Djie dari PKI.
Di masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), Siauw Giok Tjhan ditunjuk menjadi anggota DPR-GR mewakili golongan fungsional. Kemudian dalam Kabinet Kerja ke-IV, Kabinet Dwikora dan Kabinet Dwikora yang disempurnakan, Oei Tjoe Tat diangkat menjadi Menteri Negara diperbantukan kepada Presiden RI dan David Gee Cheng diangkat menjadi Menteri Ciptakarya & Konstruksi dalam Kabinet Dwikora yang disempurnakan.
Setelah berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tahun 1950 dan berdirinya Republik Rakyat Tiongkok pada tahun 1949, etnis Tionghoa di Indonesia terpecah menjadi yang memilih warga Negara Indonesia dan yang memilih warga Negara RRT. Yang memilih warga negara Indonesia kebanyakan golongan peranakan, dan yang memilih warga negara RRT golongan totok. Namun di kalangan totok juga terjadi perpecahan antara yang pro Kungchangtang/RRT dan yang pro Kuomintang/Taiwan. Yang pro Taiwan kebanyakan memilih menjadi stateless. Perpecahan ini juga tercermin dari media massa masing-masing pihak yaitu harian Sin Po edisi bahasa Tionghoa dan "Shen Hua Pao" yang sejak awal penerbitannya pada awal penyerahan kedaulatan selalu mengambil sikap pro RI. Sedangkan yang pro Taiwan adalah harian "Thian Sheng Yit Pao" yang telah terbit sejak jaman Belanda dan diasuh oleh tokoh-tokoh Kuomintang di Indonesia. Karena Taiwan terilbat dalam pemberontakan PRRI/Permesta, Kuomintang dilarang di Indonesia dan sekolah-sekolahnya ditutup.
Di masa Demokrasi Parlementer (1950-1959) dan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) perlu dicatat peranan Baperki (berdiri tahun 1954) sebagai ormas terbesar yang mewakili etnis Tionghoa dalam memperjuangkan hak-hak dan kepentingan etnis Tionghoa, dan melawan setiap bentuk diskriminasi. Baperki secara aktif membantu orang-orang Tionghoa yang ingin memilih warga negara Indonesia. Demikian juga Baperki mendirikan sekolah-sekolah dan universitas untuk menampung anak-anak Tionghoa yang membutuhkan pendidikan terutama anak-anak Tionghoa warga negara Indonesia yang harus meninggalkan sekolah-sekolah berbahasa pengantar Tionghoa sesuai peraturan yang berlaku. Dalam menyelesaikan "masalah minoritas Tionghoa", Baperki di bawah pimpinan Siauw Giok Tjhan, Go Gien Tjwan, Oei Tjoe Tat dllnya mengembangkan doktrin nation building dan integrasi, yaitu sebuah doktrin yang ingin membangun sebuah nation atau bangsa yang bersih dari diskriminasi rasial serta adanya kesamaan hak dan kewajiban warga negaranya tanpa mempermasalahkan asal-usulnya dan mengintegrasikan etnis Tionghoa secara utuh ke dalam haribaan bangsa Indonesia. Doktrin integrasi meyakini kebenaran konsep kemajemukan atau pluralisme bangsa Indonesia seperti yang dinyatakan para founding fathers bangsa Indonesia dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Adalah suatu kenyataan bahwa bangsa Indonesia terdiri dari berbagai macam suku,etnis, ras dan agama dengan budayanya masing-masing. Selanjutnya ia berpendapat nation yang bersih dari diskriminasi rasial hanya dapat terwujud di dalam masyarakat sosialis yang bersih dari penghisapan manusia atas manusia atau golongan mayoritas terhadap golongan minoritas dan sebaliknya.
Dalam perkembangannya, di era perang dingin Baperki ternyata harus menghadapi situasi tarik-menarik antara kekuatan-kekuatan politik kiri dan kanan. Untuk mengatasinya Baperki dengan doktrin integrasinya tidak mempunyai pilihan lain, selain berdiri di belakang Presiden Soekarno yang sedang dengan gencar melaksanakan konsep Manipol/Usdek dan persatuan
Nasakom. Karena mendukung politik Presiden Soekarno, dengan otomatis Baperki berada dalam satu barisan bersama seluruh "kekuatan revolusi" pada masa itu, seperti PNI, PKI, Partindo, Perti, Partai Katholik, NU, PSII dsbnya dalam perjuangan mewujudkan masyarakat sosialis Indonesia yang bersih dari penghisapan manusia atas manusia. Situasi ini menyebabkan Baperki lebih dekat dengan PKI, Partindo, PNI dan kekuatan-kekuatan pendukung Bung Karno lainnya.
Terutama dengan PKI yang selalu mendukung Baperki dalam perjuangannya menentang diskriminasi rasial, baik di DPR maupun di forum-forum lainnya dan di media massa Harian Rakyat, atau di lapangan seperti apa yang dilakukan PKI dalam menentang Peristiwa Rasialis 10 Mei 1963 di Bandung dan kota-kota lainnya di Jawa Barat. Hal ini menyebabkan banyaknya etnis Tionghoa, khususnya anggota dan simpatisan Baperki yang bersimpati kepada PKI, Partindo dan ormas-ormasnya, kemudian ikut bergabung di dalamnya Namun ketika terjadi Peristiwa G30S seperti banyak organisasi-organisasi dan partai-partai politik lainnya, Baperki menjadi korban keganasan rejim militer Jenderal Soeharto.
Sementara itu sekelompok peranakan Tionghoa yang kebanyakan berpendidikan Belanda eks Chung Hwa Hui yang tidak setuju dengan doktrin integrasi, mengembangkan doktrin asimilasi total. Untuk itu pada tanggal 24 Maret 1960 di Jakarta dikeluarkan "Statement Asimilasi" yang dengan tegas berpendirian bahwa masalah minoritet hanya dapat diselesaikan dengan jalan asimilasi dalam segala lapangan secara aktip dam bebas. Para penanda tangan statement tersebut adalah sepuluh orang tokoh peranakan Tionghoa yang beberapa orang di antaranya malah ikut mendirikan Baperki, namun telah meninggalkannya pada tahun 1955. Di antara penanda tangan tersebut antara lain Mr.Tjung Tin Jan, Injo Beng Goat, Drs.Lo Siang Hien, Ong Hok Ham, Drs.Lauwchuantho (H.Junus Jahya) dan Mr.Auwjong Peng Koen (P.K.Ojong). Kemudian pada tanggal 13-15 Januari 1961, di Bandungan (Ambarawa) diselenggarakan Seminar Kesadaran Nasional yang menghasilkan "Piagam Asimilasi". Di antara 30 penanda tangan piagam tersebut adalah Ong Hok Ham, Lauwchuantho dan Kwik Hway Gwan (ayah Drs.Kwik Kian Gie).
Untuk melaksanakan doktrin asimilasi total dan menandingi serta menghambat pengaruh Baperki, maka oleh para pendukungnya pada tahun 1963 dibentuk sebuah organisasi bernama Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa (LPKB) dengan ketuanya Ong Tjong Hai SH. alias Kristoforus Sindhunatha, seorang Letnan Angkatan Laut dan mendapatkan dukungan penuh dari pimpinan Angkatan Darat dan tokoh-tokoh politik seperti Letkol Harsono, Mayor Ismail Hambali, Prof.Sunario SH., Drs. Radius Prawiro, Drs.Frans Seda, Roeslan Abdulgani,
Harry Tjan, Djoko Sukarjo dllnya. Salah satu program LPKB adalah pelaksanaan asimilasi di segala bidang kehidupan secara serentak dengan titik berat pada asimilasi sosial. Asimilasi setidak-tidaknya dilaksanakan dalam lima bidang kehidupan sebagai berikut : asimilasi politik, asimilasi kulturil, asimilasi ekonomi, asimilasi sosial/campur gaul dan asimilasi kekeluargaan (pernikahan) . Kelima-limanya harus dilaksanakan dengan serentak (sinkron) dengan mempertimbangkan timing dan irama yang sebaik-baiknya. Setelah meletusnya Peristiwa G30S, LPKB memainkan peranan penting dalam mengeliminasi budaya, tradisi, agama dan bahasa Tionghoa seperti yang dituangkan dalam berbagai kebijaksanaan dan peraturan rejim Orde Baru.
Selama tiga puluh dua tahun pemerintahan Orde Baru, etnis Tionghoa diisolasi dari kegiatan politik. Penangkapan, penyiksaan dan pembunuhan massal terhadap orang-orang yang berindikasi G30S/PKI termasuk tokoh,anggota dan simpatisan Baperki dan organisasi-organisa si Tionghoa lainnya, telah menimbulkan trauma yang berkepanjangan di kalangan masyarakat Tionghoa. Baperki dijadikan stigma untuk menakut-nakuti etnis Tionghoa agar menjauhi wilayah politik. Setelah menghancurkan harga diri etnis Tionghoa dengan mengganti sebutan Tionghoa menjadi Cina, melarang perayaan agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina secara terbuka, melarang penggunaan bahasa dan cetakan dalam bahasa Cina dan anjuran agar mengganti nama yang berbau Cina, etnis Tionghoa hanya diberi ruang untuk melakukan bisnis semata. Kalaupun ada segelintir etnis Tionghoa yang terjun dalam politik praktis, mereka hanya dijadikan bendahara atau mesin penghasil uang saja. Memang ada beberapa orang etnis Tionghoa yang aktif terjun dalam aksi-aksi melengserkan Presiden Soekarno seperti dua bersaudara Liem Bian Kie dan Liem Bian Koen, Harry Tjan dan Soe Hok Gie.
Namun dalam perkembangannya Soe Hok Gie yang merasa kecewa kepada pemerintahan otoriter Jenderal Soeharto malahan menjadi oposisi dan meninggal dalam usia muda karena kecelakaan, menghirup gas beracun di gunung Semeru. Sementara itu kedua saudara Liem dan Harry Tjan ikut mendirikan CSIS yang pada dekade pertama dan kedua pemerintahan Orde Baru, di masa jayanya Jenderal Ali Moertopo dan Jenderal Soedjono Hoemardani, memainkan peranan penting dalam menentukan kebijaksanaan pemerintahan Orde Baru. Liem Bian Koen sendiri akhirnya beralih profesi menjadi pengusaha (konglomerat) dan menjadi juru bicara pengusaha-pengusaha yang tergabung dalam Yayasan Prasetya Mulia. Sebaliknya beberapa tahun sebelum lengsernya Presiden Soeharto, secara mengejutkan Drs.Kwik Kian Gie meninggalkan Yayasan Prasetya Mulia dan menggabungkan diri dengan PDI, selanjutnya dalam konflik internal partai, ia berpihak kepada Megawati Soekarnoputeri yang mendapatkan tekanan keras dari rejim yang berkuasa.
Aksi-aksi anarkis dan politik dikriminasi rasial anti Tionghoa. Dari catatan sejarah kita mengetahui bahwa sebelum kedatangan orang-orang Belanda yang mendirikan VOC dan kemudian pemerintahan Hindia Belanda, orang-orang Tionghoa selama ratusan tahun telah bermukim dengan tenang, damai dan berbaur dengan penduduk di berbagai tempat di Nusantara, terutama di pesisir utara pulau Jawa dan di pesisir timur Sumatera Selatan. Demi kepentingan perdagangannya, dengan mengeluarkan berbagai peraturan pemerintah Hindia Belanda telah melakukan politik segregasi untuk memisahkan orang-orang Tionghoa dari penduduk setempat (bumiputera), Aksi kejahatan anti Tionghoa yang pertama di Nusantara adalah pembunuhan orang-orang Tionghoa pada tahun 1740 di Batavia. Lebih dari 10.000 orang Tionghoa dibantai dengan kejam oleh pasukan VOC dan ratusan rumah dijarah dan dibakar dengan semena-mena. Darah dan mayat korban pembunuhan tersebut memenuhi sebuah sungai yang sampai sekarang dinamakan kali Angke. Kejadian kedua adalah pembantaian yang dilakukan oleh pasukan Pangeran Adipati Cakraningrat IV di pesisir utara Jawa Tengah/Jawa Timur, mulai dari Tuban, Gresik sampai ke Surabaya, saat berlangsung perang antara orang-orang Tionghoa dan sekutunya orang-orang Jawa melawan VOC. Kemudian pada tanggal 23 September 1825, pada awal Perang Jawa, di Ngawi, sebuah kota kecil di perbatasan Jawa Tengah-Jawa Timur, terjadi pembantaian terhadap orang-orang Tionghoa yang dilakukan pasukan berkuda yang dipimpin Raden Ayu Yudakusuma, puteri Sultan Hamengku Buwono I. Puluhan mayat orang Tionghoa bergelimpangan di muka pintu, di jalan-jalan dan di rumah-rumah yang penuh lumuran darah. Pembantaian di Ngawi ternyata bukan satu-satunya kejadian pada masa permulaan Perang Jawa. Di seluruh Jawa Tengah dan di sepanjang Bengawan Solo, pembantaian orang-orang Tionghoa terjadi berulang-ulang, pada saat mereka dalam keadaan terisolir diserang oleh pasukan pemberontak.
Setelah berakhirnya Perang Jawa, pemerintah Hindia Belanda telah sepenuhnya menguasai pulau Jawa dan daerah-daerah lainnya di Indonesia kecuali Aceh. Pemerintah Hindia Belanda melakukan tindakan keras terhadap setiap usaha yang bertujuan untuk melawan pemerintah atau melakukan pemberontakan. Raja-raja Jawa telah dibuat mandul dan menjadi pengikut yang jinak dan setia. Seluruh konsentrasi di lakukan untuk menjamin keamanan pelaksanaan cultuurstelsel (tanam paksa) yang sangat menguntungkan pemerintah Kerajaan Belanda. Untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja murah, trampil dan rajin, selama beberapa dekade pemerintah Hindia Belanda mendatangkan ratusan ribu orang Tionghoa dari bagian selatan daratan Tiongkok untuk di jadikan buruh perkebunan di Sumatera Utara (orang-orang Hokkian) dan buruh tambang timah di pulau Bangka dan Bilitung (orang-orang Hakka). Di samping itu karena tidak tahan menghadapi bencana alam (banjir) dan perang saudara yang terus berlangsung di daratan Tiongkok, banyak juga orang-orang Tionghoa yang atas kemauannya sendiri berdatangan ke Indonesia untuk mencari kehidupan baru. Migrasi besar-besaran orang-orang Tionghoa ini baru berakhir menjelang berlangsungnya Perang Dunia II. Nah, keturunan orang-orang inilah yang sekarang disebut orang-orang Tionghoa totok.
Walaupun dilahirkan di Indonesia, namun karena mereka dibesarkan di lingkungan yang terisolir dari penduduk setempat, mereka masih kental memelihara budaya Tionghoa dan setiap hari menggunakan bahasa Tionghoa atau dialek asal kampungnya di daratan Tiongkok. Karena kendala bahasa, mereka sulit membaurkan diri dengan penduduk di sekelilingnya. Ini terjadi dengan komunitas Tionghoa yang berasal dari Sumatera Utara, Jambi, Riau, Bangka-Bilitung dan Kalimantan Barat.
Walaupun terjadi gesekan-gesekan kecil antara pedagang-pedagang Tionghoa dengan pedagang-pedagang pribumi dan Arab, selama beberapa dekade tidak ada kejadian aksi-aksi rasialis anti Tionghoa yang menonjol. Baru pada tanggal 31 Oktober 1918 rumah-rumah dan toko-toko milik orang Tionghoa di kota Kudus habis dijarah dan dibakar oleh ribuan massa Sarekat Islam yang datang dari Mayong, Jepara, Pati, Demak dan daerah-daerah sekitarnya. Korban meninggal dunia enam belas orang yang terdiri dari orang-orang Tionghoa dan para perusuh, yang luka-luka ratusan orang, Berdirinya Sarekat Dagang Islam yang diprakarsai Tirto Adhi Soerjo sebenarnya bukan bertujuan untuk melawan para pedagang Tionghoa yang dianggap menjadi pesaing utama para pedagang Islam. SDI kemudian berubah menjadi Sarekat Islam dan berkembang dengan pesat sehingga anggotanya mencapai setengah juta orang. Dalam perkembangannya SI menjadi organisasi yang militan pada masa itu dalam berjuang melawan penjajahan Belanda.
Untuk mengalihkan konflik, pemerintah kolonial Hindia Belanda melakukan politik adu domba dan berusaha membenturkan kepentingan-kepentingan pedagang-pedagang Islam yang dipelopori pedagang-pedagang Arab dengan pedagang-pedagang Tionghoa yang menjadi saingan utamanya. Persaingan antara pedagang-pedagang batik dan rokok kretek Arab dengan pedagang-pedagang Tionghoa sengaja dihembus-hembuskan oleh pemerintah kolonial Belanda dengan para penasihatnya dari Biro Urusan Bumiputera, Terjadi bentrokan-bentrokan kecil antara kedua kelompok pedagang tersebut yang mencapai puncaknya pada "Peroesoehan di Koedoes".
Aksi penjarahan baru terjadi kembali pada saat bala tentara Jepang mendarat di Jawa. Tentara Belanda yang mengundurkan diri dari kota-kota besar mendobrak dan menjarah toko-toko P&D yang ditinggalkan pemiliknya untuk mengungsi. Perbuatan tersebut telah mendorong rakyat yang hidup serba kekurangan untuk meniru tindakan anggota-anggota militer Belanda tersebut. Maka terjadilah perampokan-perampok an dan penjarahan-penjarah an toko-toko dan rumah-rumah orang Tionghoa yang ditinggalkan pemiliknya untuk mengungsi. Kerugian paling banyak dialami orang-orang Tionghoa di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Ratusan pabrik milik orang Tionghoa dihancurkan pasukan Belanda yang sedang mengundurkan diri.
Tetapi puncak dari aksi-aksi anti Tionghoa adalah pada masa sebelum dan sesudah Agresi Belanda. Pada bulan Mei 1946, sebanyak 635 orang Tionghoa, termasuk 136 orang perempuan dan anak-anak di daerah Tangerang dan sekitarnya telah menjadi korban pembunuhan. 1.268 rumah etnis Tionghoa habis dibakar dan 236 lainnya dirusak. Diperkirakan ada 25.000 orang pengungsi di Jakarta yang datang dari daerah tersebut. Selanjutnya terjadi pembantaian, pembakaran dan pejarahan rumah-rumah dan harta benda milik orang Tionghoa di Bagan Siapi-Api, Kuningan, Majalengka, Indramayu, Pekalongan, Tegal, Puwokerto,Purbaling ga, Bobotsari, Gombong, Lumajang, Jember, Malang, Lawang, Singosari dllnya. Ratusan orang Tionghoa menjadi korban pembantain dan ribuan toko, pabrik, kendaraan, dllnya habis dibakar atau dijarah.
Sebenarnya aksi-aksi kekerasan ini diprovokasi pihak NICA (Nederlandsch Indie Civil Administration) yang ingin menjatuhkan reputasi Republik Indonesia di dunia internasional dan sayangnya sebagian rakyat Indonesia tidak waspada dan masuk dalam perangkap tersebut. Akibat pembantaian dan perampokan serta penjarahan tersebut, sekelompok etnis Tionghoa mendirikan sebuah organisasi untuk membela diri dan menjaga keamanan. Organisasi tersebut bernama "Pao An Tui" yang artinya barisan penjaga keamanan. Namun dalam perkembangannya sebagian dari anggota Pao An Tui yang merasa sakit hati dan dendam karena keluarganya menjadi korban, berhasil dibujuk dan dipersenjatai Belanda untuk digunakan menghadapi pasukan Indonesia. Hal inilah yang kemudian menjadi stigma negatif pertama bagi etnis Tionghoa yang selama puluhan tahun ditiup-tiupkan sementara golongan untuk mendiskreditkan etnis Tionghoa, seolah-olah seluruh etnis Tionghoa reaksioner, pro NICA dan menentang Republik.
Sejak pemerintahan RIS dan penyerahan kedaulatan serta terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan Demokrasi Parlementernya ada usaha-usaha dari pihak tertentu dalam pemerintahan untuk menjalankan kebijaksanaan yang berbau rasis. Kebijaksanaan tersebut antara lain program "benteng" importir yang diprakarsai oleh Menteri Kesejahteraan Ir.Djuanda. Kebijaksanan yang hanya memberikan lisensi impor kepada golongan pribumi, melahirkan pengusaha-pengusaha atau importir-importir "aktentas", yaitu pengusaha yang tidak bermodal dan tidak punya kantor, dengan membawa sebuah aktentas keluar masuk kantor instansi pemerintah untuk mendapatkan lisensi impor bermacam-macam barang. Dengan mengantungi lisensi ini mereka mendatangi pedagang-pedagang Tionghoa untuk menjual lisensi tersebut. Kerja sama inilah yang kemudian terkenal dengan sebutan sistim Ali-Baba.
Walaupun dalam kabinet Ali Sastroamidjojo ke-1 terdapat dua orang menteri dari etnis Tionghoa, hal ini tidak menjamin bersihnya kebijaksanaan- kebijaksanaan yang berbau rasis. Dengan alasan untuk menjamin pengadaan dan stabilitas harga beras, pemerintah bermaksud menguasai perdagangan dan peredaran beras dan untuk itu dikeluarkan peraturan wajib giling padi pemerintah dan melarang penggilingan- penggilingan beras (huller) menggiling padi di luar pemerintah. Padahal 98 % penggilingan beras adalah milik etnis Tionghoa.
Akibatnya banyak penggilingan padi yang menganggur dan munculnya centeng-centeng yang kebanyakan dari kalangan militer untuk melindungi penggilingan- penggilingan beras yang secara illegal menggiling padi rakyat.
(Disampaikan pada Diskusi Akbar yang diselenggarakan Perhimpunan INTI Jakarta pada tanggal 27 April 2002, bertempat di Hotel Mercure Rekso,Jakarta.)
沒有留言:
張貼留言